Sego Abang Lombok Ijo
Sajian ndeso Gunung Kidul yang tandus ini mampu mengobati rindu. Nasi merah pulen hangat mengepul, disiram sayur gurih lombok ijo yang pedas-pedas manis. Dinikmati sambil duduk bersila di atas bale-bale bambu beralas tikar, luar biasa sedap! Tentu saja ditambah empal, babat dan iso yang diungkep, empuk dan gurih plus belalang goreng yang kres...kres!
Sengaja saya mengakhir jalan-jalan nostalgia ke daerah Yogyakarta dengan mengunjungi pantai-panti berpasir putih di sekitar Wonosari, Gunung Kidul. Puas bermain pasir putih dipantai Kukup, Baron dan Krakal, saya mulai merasa lapar. Untung saja teman yang mengantar saya menjanjikan menu ndeso yang sangat saya rindukan. Karena saya pernah menjalani KKN di daerah Gunung Kidul. Mobilpun dipacu agak kencang menyusuri jalan Wonosari mengingat jam sudah melewati pukul 14.00 dan perut sudah luar biasa lapar. Tepat sebelum jembatan Jirak, di sisi kanan, ada warung sederhana bercat abu-abu. Penampilannya tak berbeda jauh dengan warung-warung makan di sepanjang jalur pantura. Bedanya, warung tanpa nama ini cukup ramai, ada beberapa mobil terpakir di depannya.
Di sisi kiri, tak ada meja kursi, hanya balai-balai bambu beralas tikar mengelilingi sisi ini. Di bagian tengah, ada meja besar berisi aneka makanan ringan dan lemari tempat meracik makanan. Di bagian kanan, tersedia meja kursi untuk mereka yang tak suka makan sambil duduk bersila. Kamipun memilih duduk di atas balai-balai karena ingin merasakan terpaan angin Gunung Kidul yang semilir hangat. Tak ada daftar menu yang disodorkan, untuk minuman juga hanya ada es jeruk, es teh manis, es teh tawar atau teh poci. Setelah agak lama menunggu, datanglah menu nasi merah yang jadi suguhan di warung ini. Nasi merah ditaruh dalam bakul enamel putih, semangkuk sayur lombok ijo, sepiring trancam, sepiring sayur daun singkong papaya, sepiring potongan babat dan iso (usus) sapi, sepiring empal dan sepiring ayam goreng. Piring dan sendokpun diberikan dengan cara ditumpuk, khas ndeso Gunung Kidul.
Dalam hitungan detik, kami sudah memindahkan nasi merah ke piring dan menyiram dengan sayur lombok ijo. Wouw... rasanya gurih pedas menggigit! Sayur lombok ijo yang jadi unggulan ini berkuah santan dengan semburat minyak berwarna hijau. Isinya potongan kecil tempe, cabai hijau keriting yang diiris serong, bawang merah dan bawang putih plus taburan bawang goreng. Aroma daun salam dan lengkuas menambah sedap sayur gurih ini. Nasi merahnya juga pulen karena berasnya sudah disosoh sehingga tidak terlalu keras. Sayur daun singkong dan papaya yang berkuah santan nyemek-nyemek rasanya gurih manis tanpa rasa pahit sedikitpun. Trancam yang saya cicip kurang nendang bumbunya, irisan kacang panjang, sedikit bengkuang, tauge dan kelapa parut kurang mantap bumbunya.
Tak ada aroma bawang putih dan kencur yang kuat, hanya manis dan sedikit gurih saja. Karena kecewa saya melengkapi nikmatnya sayur lombok ijo ini dengan empal. Empalnya berupa bongkahan daging sapi (dengan selingan urat yang kenyal) yang diiris setebal 2 cm tanpa remahan bumbu. Awalnya saya mengira empal ini pasti keras karena potongannya yang tebal, ternyata saya keliru! Daging empal empuk dan lembut meskipun bumbunya kurang tajam tetapi rasa gurihnya lumayan dominan. Babat sapi dan iso (usus) sapi yang diungkep dipotong agak kecil ternyata memiliki tingkat keempukan yang sama dengan empal. Hanya saja babatnya dibiarkan tidak dikerok, jadi kehitaman. Konon inilah yang membuat babat jadi makin sedap!
Sebenarnya saat menunggu makanan datang kami sudah tergoda dengan dua bungkusan plastik yang ada di piring kecil. Sambil mengunyah kacang mete khas Gunung Kidul yang kecil dan manis kami pun mengamati isi kantung plastik itu. Wah, ternyata mata kami tidak salah, belalang dalam ukuran besar berwarna cokelat, berjajar rapi. Ya, belalang goreng yang terlihat gurih renyah. Terus terang saya tak punya nyali untuk mengunyahnya karena mata para belalang goreng itu masih saja melotot. Beberapa orang mengatakan kalau belalang itu gurih renyah! Kamipun memutuskan untuk tidak mencicipi dan mengorbankan sayur lombok ijo yang sedap dan sudah masuk ke dalam lambung. Lelehan keringat di dahi pun mulai mengucur akibat sengatan cabai hijau keriting (cabai di Gunung Kidul memang lebih kecil, keriting dan puedaas...).
Perut kenyang, angin semilir nyaris membuat kami ingin merebahkan diri di balai-balai layaknya wong ndeso yang makan kekenyangan. Untuk harga makanan ternyata tidak terlalu ndeso (mungkin karena banyak pelanggan dari kota). Seporsi nasi merah Rp. 3.000, empal sepotong Rp. 4.000, trancam Rp. 2.500 dan setengah piring babat dan iso Rp. 10.000. Untuk oleh-oleh sayapun meneteng 3 bungkus tiwul instan dan 2 bungkus keripik salak Pondoh. Oh ya warung nasi merah ini dikenal dengan sebutan 'Nasi Merah Jirak' karena berada tepat sebelum jembatan Jirak. Mencarinya cukup mudah, setelah pasar Wonosari, susuri jalan raya sampai terlihat jembatan Jirak, warung ada di sisi kanan! Sego abang lombok ijo, nek mangan enak ojo lali bojo!
Nasi Merah 'Jirak'
Jl. Raya Wonosari (sebelum jembatan Jirak)
Wonosari, Gunung Kidul
Yogyakarta
Sajian ndeso Gunung Kidul yang tandus ini mampu mengobati rindu. Nasi merah pulen hangat mengepul, disiram sayur gurih lombok ijo yang pedas-pedas manis. Dinikmati sambil duduk bersila di atas bale-bale bambu beralas tikar, luar biasa sedap! Tentu saja ditambah empal, babat dan iso yang diungkep, empuk dan gurih plus belalang goreng yang kres...kres!
Sengaja saya mengakhir jalan-jalan nostalgia ke daerah Yogyakarta dengan mengunjungi pantai-panti berpasir putih di sekitar Wonosari, Gunung Kidul. Puas bermain pasir putih dipantai Kukup, Baron dan Krakal, saya mulai merasa lapar. Untung saja teman yang mengantar saya menjanjikan menu ndeso yang sangat saya rindukan. Karena saya pernah menjalani KKN di daerah Gunung Kidul. Mobilpun dipacu agak kencang menyusuri jalan Wonosari mengingat jam sudah melewati pukul 14.00 dan perut sudah luar biasa lapar. Tepat sebelum jembatan Jirak, di sisi kanan, ada warung sederhana bercat abu-abu. Penampilannya tak berbeda jauh dengan warung-warung makan di sepanjang jalur pantura. Bedanya, warung tanpa nama ini cukup ramai, ada beberapa mobil terpakir di depannya.
Di sisi kiri, tak ada meja kursi, hanya balai-balai bambu beralas tikar mengelilingi sisi ini. Di bagian tengah, ada meja besar berisi aneka makanan ringan dan lemari tempat meracik makanan. Di bagian kanan, tersedia meja kursi untuk mereka yang tak suka makan sambil duduk bersila. Kamipun memilih duduk di atas balai-balai karena ingin merasakan terpaan angin Gunung Kidul yang semilir hangat. Tak ada daftar menu yang disodorkan, untuk minuman juga hanya ada es jeruk, es teh manis, es teh tawar atau teh poci. Setelah agak lama menunggu, datanglah menu nasi merah yang jadi suguhan di warung ini. Nasi merah ditaruh dalam bakul enamel putih, semangkuk sayur lombok ijo, sepiring trancam, sepiring sayur daun singkong papaya, sepiring potongan babat dan iso (usus) sapi, sepiring empal dan sepiring ayam goreng. Piring dan sendokpun diberikan dengan cara ditumpuk, khas ndeso Gunung Kidul.
Dalam hitungan detik, kami sudah memindahkan nasi merah ke piring dan menyiram dengan sayur lombok ijo. Wouw... rasanya gurih pedas menggigit! Sayur lombok ijo yang jadi unggulan ini berkuah santan dengan semburat minyak berwarna hijau. Isinya potongan kecil tempe, cabai hijau keriting yang diiris serong, bawang merah dan bawang putih plus taburan bawang goreng. Aroma daun salam dan lengkuas menambah sedap sayur gurih ini. Nasi merahnya juga pulen karena berasnya sudah disosoh sehingga tidak terlalu keras. Sayur daun singkong dan papaya yang berkuah santan nyemek-nyemek rasanya gurih manis tanpa rasa pahit sedikitpun. Trancam yang saya cicip kurang nendang bumbunya, irisan kacang panjang, sedikit bengkuang, tauge dan kelapa parut kurang mantap bumbunya.
Tak ada aroma bawang putih dan kencur yang kuat, hanya manis dan sedikit gurih saja. Karena kecewa saya melengkapi nikmatnya sayur lombok ijo ini dengan empal. Empalnya berupa bongkahan daging sapi (dengan selingan urat yang kenyal) yang diiris setebal 2 cm tanpa remahan bumbu. Awalnya saya mengira empal ini pasti keras karena potongannya yang tebal, ternyata saya keliru! Daging empal empuk dan lembut meskipun bumbunya kurang tajam tetapi rasa gurihnya lumayan dominan. Babat sapi dan iso (usus) sapi yang diungkep dipotong agak kecil ternyata memiliki tingkat keempukan yang sama dengan empal. Hanya saja babatnya dibiarkan tidak dikerok, jadi kehitaman. Konon inilah yang membuat babat jadi makin sedap!
Sebenarnya saat menunggu makanan datang kami sudah tergoda dengan dua bungkusan plastik yang ada di piring kecil. Sambil mengunyah kacang mete khas Gunung Kidul yang kecil dan manis kami pun mengamati isi kantung plastik itu. Wah, ternyata mata kami tidak salah, belalang dalam ukuran besar berwarna cokelat, berjajar rapi. Ya, belalang goreng yang terlihat gurih renyah. Terus terang saya tak punya nyali untuk mengunyahnya karena mata para belalang goreng itu masih saja melotot. Beberapa orang mengatakan kalau belalang itu gurih renyah! Kamipun memutuskan untuk tidak mencicipi dan mengorbankan sayur lombok ijo yang sedap dan sudah masuk ke dalam lambung. Lelehan keringat di dahi pun mulai mengucur akibat sengatan cabai hijau keriting (cabai di Gunung Kidul memang lebih kecil, keriting dan puedaas...).
Perut kenyang, angin semilir nyaris membuat kami ingin merebahkan diri di balai-balai layaknya wong ndeso yang makan kekenyangan. Untuk harga makanan ternyata tidak terlalu ndeso (mungkin karena banyak pelanggan dari kota). Seporsi nasi merah Rp. 3.000, empal sepotong Rp. 4.000, trancam Rp. 2.500 dan setengah piring babat dan iso Rp. 10.000. Untuk oleh-oleh sayapun meneteng 3 bungkus tiwul instan dan 2 bungkus keripik salak Pondoh. Oh ya warung nasi merah ini dikenal dengan sebutan 'Nasi Merah Jirak' karena berada tepat sebelum jembatan Jirak. Mencarinya cukup mudah, setelah pasar Wonosari, susuri jalan raya sampai terlihat jembatan Jirak, warung ada di sisi kanan! Sego abang lombok ijo, nek mangan enak ojo lali bojo!
Nasi Merah 'Jirak'
Jl. Raya Wonosari (sebelum jembatan Jirak)
Wonosari, Gunung Kidul
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar